Powered By Blogger

Kamis, 09 Juni 2011

Bunda, kutitipkan Rinduku Pada Wajah Malam


Bunda, izinkan kembali kurasakan hadirmu di sisi...
Biarkan kurasakan belaimu dari jarak yang cukup jauh.

Bunda, ingin kubermanja dalam pangkuanmu detik ini.
Menghapus resahku, menyejukkan kembali hatiku, menyabarkanku, meninggikan asa yang ingin kucapai dengan mengecilkan segala problema yang menyarang.
Bunda, sungguh... takkan pernah kulupa nasihatmu, apalagi ketika kutemui kerikil kecil seperti yang kuhadapi sekarang.
Dan sekali lagi, aku rindu saat-saat seperti ini... denganmu tentu, di sisiku.
Bunda, aku yakin kau selalu sedia untukku...

Lihatlah bunda, aku masih seperti dulu... menjadi bunga mawarmu yang kokoh dengan duri-duri.
Berusaha menjadi sosok yang tegar dan baru, ketika ujian mencoba mencabik diriku di tengah belantara usiaku.
Sebab jauh darimu... maaf bila sedikit mengkhawatirkanmu.
Bunda, kutitipkan rinduku untukmu pada wajah malam.

Semoga Allah mencukupkan kita dengan hidayah-Nya, hingga kita tak peduli lagi dengan peluh di dahi.
Sebab inilah kenikmatan,
Bunda...
kutahu kaupun selalu berusaha menepis lelah dengan keyakinan kita sebagai hamba.
Sama seperti yang kaubisikkan dulu padaku,
ketika masa-masa sulit pun berlalu dengan sangat manis.
Hehehe... sebenarnya aku lagi menghibur diri neh, bunda.

Namun, apalah hidup tanpa sebuah keyakinan?!
Sebab, tanpa keyakinan itu... bisa saja ku mudah terhempas, lemah, rapuh, hingga sunyi di keterasingan sendiri.
Bisa saja kulepas keyakinan itu, namun... yang terjadi padaku lebih mengerikan daripada itu. Hehehe... lega neh, bunda.

Biarkan aku untuk tidak berharap pada apa pun kini, bunda.
Semoga aku lebih dewasa, dan menjadi mawar yang kokoh seperti harapanmu... sampai kapanpun.
Sebab aku pun masih bidadari kesayangan ayah.

Dari anakmu, semoga Allah selalu menjagamu untukku
 aldhy-gakrepot.blogspot.com

☆ﷲ☆ Semoga ukhti fillah juga semakin bermuhasabah ☆ﷲ☆

سْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ

ا لسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Goresan tinta yang sangat mendalam artinya. Semoga ukhti fillah juga semakin bermuhasabah setelah membaca surat ini :

Ukhti…
Besarnya kerudungmu tidak menjamin sama dengan besarnya semangat jihadmu menuju ridho Rabbmu. Mungkinkah besarnya kerudungmu hanya digunakan sebagai fashion atau gaya jaman sekarang? Atau mungkin kerudung besarmu hanya dijadikan alat perangkap busuk supaya mendapatkan ikhwan yang diidamkan? Bahkan bisa jadi kerudung besarmu hanya akan dijadikan sebagai identitasmu saja supaya bisa mendapat gelar “akhwat” dan di kagumi oleh banyak ikhwan?

Ukhti
Tertutupnya tubuhmu tidak menjamin bisa menutupi aib saudaramu, keluargamu bahkan diri ukhti sendiri. Coba perhatikan sekejap saja, apakah aib saudaramu, teman dekatmu bahkan keluargamu sendiri sudah tertutupi? Bukankah kebiasaan buruk seorang perempuan selalu terulang dengan tanpa disadari melalui ocehan-ocehan kecil sudah membekas semua aib keluargamu, aib sudaramu, bahkan aib teman dekatmu melalui lisan manismu?

Ukhti…
Lembutnya suaramu mungkin selembut sutra. Bahkan lebih dari pada itu. Tapi akankah kelembutan suara ukhti sama dengan lembutnya kasihmu pada sauadaramu, pada anak-anak jalanan, pada fakir miskin dan pada semua orang yang menginginkan kelembutan dan kasih sayangmu?

Ukhti…
Lembutnya parasmu tak menjamin selembut hatimu. Akankah hatimu selembut salju yang mudah meleleh dan mudah terketuk ketika melihat segerombolan anak-anak Palestina terlihat gigih berjuang dengan berani menaruhkan jiwa dan raga bahkan nyawa sekalipun dengan tetes darah terakhir? Akankah selembut itu hatimu ataukah sebaliknya hatimu sekeras batu yang ogah dan cuek melihat ketertindasan orang lain?

Ukhti…
Rajinnya tilawahmu tak menjamin serajin dengan shalat malammu, mungkinkah malam-malammu di lewati dengan rasa rindu menuju Rabbmu dengan bangun di tengah malam dan ditemani dengan butiran-butiran airmata yang jatuh ke tempat sujudmu serta lantunan tilawah yang tak henti-hentinya berucap membuat setan terbirit-birit lari ketakutan? Atau sebaliknya, malammu selalu diselimuti dengan tebalnya selimut setan dan dininabobokan dengan mimpi-mimpi jorokmu bahkan lupa kapan bangun shalat subuh?

Ukhti…
Cerdasnya dirimu tak menjamin bisa mencerdaskan sesama saudaramu dan keluargamu. Mungkinkah temanmu bisa ikut bergembira menikmati ilmu-ilmunya seperti yang ukhti dapatkan? Ataukah ukhti tidak peduli sama sekali akan kecerdasan temanmu, saudaramu bahkan keluargamu, sehingga membiarkannya begitu saja sampai mereka jatuh ke dalam lubang yang sangat mengerikan yaitu maksiat?

Ukhti…
Cantiknya wajahmu tidak menjamin kecantikan hatimu terhadap saudaramu, temanmu bahkan diri ukhti sendiri. Pernahkah ukhti menyadari bahwa kecantikan yang ukhti punya hanya titipan ketika muda? Apakah sudah tujuh puluh tahun kedepan ukhti masih terlihat cantik? Jangan-jangan kecantikanmu hanya dijadikan perangkap jahat supaya bisa menaklukan hati ikhwan dengan senyuman-senyuman busukmu?

Ukhti…
Tundukan pandanganmu yang jatuh ke bumi tidak menjamin sama dengan tundukan semangatmu untuk berani menundukan musuh-musuhmu. Terlalu banyak musuh yang akan ukhti hadapi mulai dari musuh-musuh Islam sampai musuh hawa nafsu pribadimu yang selalu haus dan lapar terhadap perbuatan jahatmu.

Ukhti…
Tajamnya tatapanmu yang menusuk hati, menggoda jiwa tidak menjamin sama dengan tajamnya kepekaan dirimu terhadap warga sesamamu yang tertindas di Palestina. Pernahkah ukhti menangis ketika mujahid-mujahidah kecil tertembak mati, atau dengan cuek bebek membiarkan begitu saja? Pernahkah ukhti merasakan bagaimana rasanya berjihad yang dilakukan oleh para mujahidah-mujahidah teladan?

Ukhti…
Lirikan matamu yang menggetarkan jiwa tidak menjamin dapat menggetarkan hati saudaramu yang senang bermaksiat, Coba ukhti perhatikan dunia sekelilingmu! Masih banyak teman,saudara bahkan keluarga ukhti sendiri belum merasakan manisnya Islam dan iman mereka belum merasakan apa yang ukhti rasakan. Bisa jadi salah satu dari keluargamu masih gemar bermaksiat, berpakaian seksi dan berperilaku binatang yang tak karuan. Sanggupkah ukhti menggetarkan hati-hati mereka supaya mereka bisa merasakan sama apa yang kamu rasakan yaitu betapa lezatnya hidup dalam kemuliaan Islam?

Ukhti…
Tebalnya kerudungmu tidak menjamin setebal imanmu pada sang Khalikmu. Ukhti adalah salah satu sasaran setan durjana yang selalu mengintai dari semua penjuru mulai dari depan belakang atas bawah semua setan mengintaimu, imanmu dalam bahaya, hatimu dalam ancaman, tidak akan lama lagi imanmu akan terobrak-abrik oleh tipuan setan jika imanmu tidak betul-betul dijaga olehmu. Banyak cara yang harus ukhti lakukan mulai dari diri sendiri, dari yang paling kecil dan seharusnya di lakukan sejak dari sekarang, kapan lagi coba….?!

Ukhti…
Putihnya kulitmu tidak menjamin seputih hatimu terhadap saudaramu, temanmu bahkan keluargamu sendiri. Masihkah hatimu terpelihara dari berbagai penyakit yang merugikan seperti riya’ dan sombong? Pernahkah ukhti membanggakan diri ketika kesuksesan dakwah telah diraih dan merasa diri paling “wah”, merasa diri paling aktif, bahkan merasa diri paling cerdas di atas rata-rata akhwat yang lain? Sesombong itukah hatimu? Lalu dimanakah beningnya hatimu, dan putihnya cintamu?

Ukhti…
Rajinnya ngajimu tidak menjamin serajin infakmu ke masjid atau musholla. Sadarkah ukhti kalo kotak-kotak nongkrong di masjid masih terlihat kosong dan menghawatirkan? Tidakkah ukhti memikirkan infaq sedikit saja? Bahkan kalaupun infaq, kenapa uang yang paling kecil dan paling lusuh yang ukhti masukan? Maukah ukhti diberi rizki sepelit itu?

Ukhti…
Rutinnya halaqahmu tidak menjamin serutin puasa sunnah senin-kamis yang ukhti laksanakan. Kejujuran hati tidak bisa dibohongi. Kadang semangat fisik begitu bergelora untuk dilaksanakan. Tapi, semangat ruhani tanpa disadari turun drastic. Puasa yaumul-bidh pun terlupakan apalagi puasa senin-kamis yang dirasakan terlalu sering dalam seminggu. Separah itukah hati ukhti? Makanan fisik yang ukhti pikirkan dan ternyata ruhiyah pun butuh stok makanan. Kita tidak pernah memikirkan bagaimana akibatnya kalau ruhiyah kurang gizi.

Ukhti…
Manisnya senyummu tak menjamin semanis rasa kasihmu terhadap sesamamu. Kadang sikap ketusmu terlalu banyak mengecewakan orang sepanjang jalan yang ukhti lewati. Sikap ramahmu pada orang ukhti temui sangat jarang terlihat. Bahkan selalu dan selalu terlihat cuek dan menyebalkan. Kalau itu kenyataannya bagaimana orang lain akan simpati terhadap komunitas dakwah yang memerlukan banyak kader? Ingat!!! Dakwah tidak memerlukan ukhti! Tapi…, ukhtilah yang memerlukan dakwah. Kita semua memerlukan dakwah.

Ukhti…
Rajinnya shalat malammu tidak menjamin keistiqomahan seperti rosulullah sebagai panutanmu.

Ukhti…
Ramahnya sikapmu tidak menjamin seramah sikapmu terhadap sang Khalikmu, masihkah ukhti senang bermanjaan dengan Rabbmu dengan shalat Dhuhamu, shalat malammu?

Ukhti…
Dirimu bagaikan kuntum bunga yang mulai merekah dan mewangi. Akankah nama harummu di sia-siakan begitu saja dan atau sanggupkah ukhti ketika sang mujahid akan segara menghampirimu?

Ukhti…
Masih ingatkah ukhti terhadap pepatah yang masih terngiang sampai saat ini bahwa akhwat yang baik hanya untuk ikhwan yang baik? Jadi, siap-siaplah sang syuhada akan menjemputmu di pelaminan hijaumu.

Ukhti…
Baik buruk parasmu bukanlah satu-satunya jaminan akan sukses masuk dalam surga Rabbmu. Maka, tidak usah berbangga diri dengan parasmu yang molek. Tapi berbanggalah ketika iman dan taqwamu sudah betul-betul terasa dan terbukti dalam hidup sehari-harimu.

Ukhti…
Muhasabah yang ukhti lakukan masihkah terlihat rutin dengan menghitung-hitung kejelekan dan kebusukan kelakuan ukhti yang dilakukan siang hari, atau bahkan kata muhasabah itu sudah tidak terlintas lagi dalam hatimu? Sungguh lupa dan sirna tidak ingat sedikitpun apa yang harus dilakukan sebelum tidur. Ukhti tidur mendengkur begitu saja dan tidak pernah kenal apa itu muhasabah sampai kapan akhlak busukmu dilupakan. Kenapa muhasabah tidak dijadikan sebagai moment untuk perbaikan diri bukankah akhwat yang baik hanya akan mendapatkan ikhwan yang baik?

Ukhti…
Pernahkah ukhti bercita-cita ingin mendapatkan suami ikhwan yang ideal, wajah yang manis, badan yang kekar, dengan langkah tegap? Dan pasti, bukankah apa yang ukhti pikirkan sama dengan yang ikhwan pikirkan yaitu ingin mencari istri yang sholehah dan seorang mujahidah? Kenapa tidak dari sekarang ukhti mempersiapkan diri menjadi seorangan mujahidah yang shalehah?

Ukhti…

Apakah kebiasaan buruk wanita lain masih ada dan hinggap dalam diri ukhti, seperti bersikap pemalas dan tak punya tujuan atau lama-lama nonton tv yang tidak karuan dan hanya kan mengeraskan hati sampai lupa waktu, lupa bantu orang tua? Kapan akan menjadi anak yang biruwalidain? Kalau memang itu terjadi, jadi sampai kapan? Mulai kapan akan mendapat gelar mujahidah atau akhwat shalehah?

Ukhti…
Apakah pandanganmu sudah terpelihara? Atau, pura-pura nunduk ketika melihat seorang ikhwan dan terlepas dari itu matamu kembali jelalatan layaknya mata harimau mencari mangsa? Atau, tundukan pandangannmu hanya menjadi alasan belaka karena merasa berkerudung besar?

Ukhti…
Hatimu di jendela dunia. Dirimu menjadi pusat perhatian semua orang. Sanggupkah ukhti menjaga izzah yang ukhti punya? Atau sebaliknya, ukhti bersikap acuh tak acuh terhadap penilaian orang lain dan hal itu akan merusak citra akhwat yang lain? Kadang orang lain akan mempunyai persepsi di sama-ratakan antara akhwat yang satu dengan akhwat yang lain. Jadi, kalau ukhti sendiri membuat kebobrokan akhlak maka akan merusak citra akhwat yang lain.

Ukhti…
Dirimu menjadi dambaan semua orang. Karena yakinlah preman sekalipun, bahkan brandal sekalipun tidak menginginkan istri yang akhlaknya bobrok tapi semua orang menginginkan istri yang shalehah. Siapkah ukhti sekarang menjadi istri shalehah yang selalu di damba-dambakan oleh semua orang?...
¤══¤۩۞۩ஜஜ۩۞۩¤══¤♣ﷲ♣¤══¤۩۞۩ஜஜ۩۞۩¤══¤♣ﷲ♣¤══¤۩۞۩ஜஜ۩۞۩¤══¤
085350180850 ♣ saran saudara sangat berharga buat saya

Senin, 06 Juni 2011

AIR MATA TAUBATMU, DUHAI JUWA YG RAPUH


Wanita muda itu terlihat kusut dan lusuh. Air matanya terus berjatuhan, isaknya sangat memilukan, pekat batinnya terpancar dari wajahnya yang penuh beban. Semua penyesalannya ditumpahkan di hadapanku.

Dia masih sangat muda, belum genap tiga puluh tahun usianya, pernah terjatuh dan menduakan Allah serta bermaksiat. Kini nuraninya tersadar, menggedor-gedor pintu hatinya agar bertaubat.

“Aku sungguh hina dan buruk, masa lalu yang penuh kejahiliyahan, menduakan-Nya, dan meninggalkan segala perintah-Nya,” jeritnya lirih.

Kubiarkan wanita muda itu menangis beberapa menit. Setelah agak tenang, kubacakan ayat indah dari Sang Ghaffar padanya.

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, sesungguhnya kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang beriman” (Q.S. Ali Imran : 139)

“Apakah aku harus mati saja saat ini?” Tanyanya pilu, seakan ayat yang kusebutkan belum mampu menenangkan batinnya yang porak-poranda.

“Kematian adalah sesuatu yang pasti, namun matilah dengan cara yang Allah ridhai. Simaklah firman-Nya dalam surat An-Nisa’ ayat 78: “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapati kamu, meskipun kamu di dalam benteng yang tinggi dan kokoh,” kucoba memotivasinya.

“Otak ini telah beku, dihimpit rasa yang menusuk-nusuk. Aku benar-benar putus asa dengan hidupku,” keluhnya lagi dalam tangis.

Beberapa saat kemudian, kucoba menenangkan agar tangisnya sedikit reda. “Sesungguhnya, tiada berputus asa dari Rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir,” ujarku mengutip surat Yusuf ayat 87.

Tangisnya terdiam sesaat, namun benteng hatinya tak cukup kokoh menahan gejolak jiwanya. “Apakah Allah akan mengampuni dosaku yang seluas samudera?” keluhnya lagi.

“Duhai jiwa, ketahuilah janji-Nya dalam ayat-ayat cinta yang indah: ‘Dan Dialah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.’ Itulah janji Allah dalam surat Asy-Syura ayat 25, wahai jiwa yang renta, apakah engkau memahaminya?” tanyaku padanya.

Lagi-lagi dia sesenggukan dalam tangis panjang, nuraninya mengajak pada kebenaran, hidayah-Nya meresap dengan pelan dalam lubuk hati.

“Duhai jiwa, sebuah hadits dari sang kekasih Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, begini sabdanya, “Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba selama nyawa belum sampai di kerongkongan.” Adakah engkau meyakininya?” ujarku memotivasi.

Dia tampak manggut-manggut mendengar penjelasanku, wajahnya sedikit berubah, air matanya tidak separah sebelumnya. “Nasihati aku satu ayat lagi,” pintanya.

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas pada diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari Rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” jawabku sambil menyitir surat Az Zumar ayat 153.

Dia terdiam, tangisnya pelan-pelan reda, wajahnya terlihat cerah, menyala optimis jiwanya.

“Aku akan menjemput taubat pada Rabb yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang,” bisik wanita muda itu penuh tekad kuat di depanku.

Aku pun larut dalam tangis hening, aura kesyukuran bergurat lembut dalam hati, menyaksikan hamba yang sedang berusaha mendekat-Nya.

“Berkah Allah atasmu wahai jiwa yang sedang menuju kesucian taubat,” doaku lirih.




Duhai jiwa yang keropos imannya.......
Saatnya engkau bangkit dari keterlenaan dunia
Rengkuh iman yang dulu menyala di dada
Diri yang penuh lumpur dosa dan nista
Butuhkan suntikan religi membara
Reguk manisnya sujud cinta
Di atas taubatan nashuha.

ƸӜƷ.¸¸✿¸.•❤•.❀.ƸӜƷ.❀.•❤•.¸